Kado Terbaik Untukku DariNya

Prolog
Bismillahirrahmanirrahim
Bismillahirrahmanirrahim
Bismillahirrahmanirrahim
Allah Allah Allah
Yang Maha Pengasih Yang Maha Penyayang Yang Maha Mengabulkan Lagi Maha Bijaksana
Tunjukkan semua kekuasaanmu yang belum kami ketahui ya Allah
Kabulkan semua doa kami ya Allah
Hanya padamu kami memohon dan hanya padaMu kamu meminta
Dan hanya kepadaMu pula kami berserah diri


“Nggak, nggak mungkin itu semua nggak adil” kesal Arin
“Iya ini nggak mungkin terjadi, masak mereka yang seenaknya beli kunci bisa lulus dengan nilai yang baik, sedangkan kita…” kata Krish
“Apaka ini suatu hal yang buruk buat kita?” kata Ella
“Kita tak perlu menyesal dengan semua yang terjadi, mungkin justru ini awal yang baik buat kita” kataku
“Apa awal yang baik?, nilaimu anjlok sedangkan mereka yang nggak usaha siang malem, bisa dapet yang lebih baik dari kita, masih kamu bilang itu awal yang baik?” gertak Puput
Begitulah reaksi kita berlima setelah nilai UN di umumkan. Aku tertegun dalam keramaian melihat sorak sorai teman-teman menyambut kelulusan UN mereka dengan begitu senang. Mereka tampak senang, apakah sekarang Aku juga sama seperti mereka? Senang saat ini? Mungkinkah tidak?

Aku tak tahu bagimana raut orang tuaku saat mengetahui nilai-nilai UN nanti yang sedang-sedang ini, atau mungkin cukup miris jika dibandingkan dengan usaha orang tuaku yang siang malam bersusah payah untuk membayar seluruh kebutuhan sekolahku? Ya Allah, bagaimana raut Ibuku nanti? Akankah nanti Ia akan tersenyum menyambutku pulang meski nilaiku seperti ini? Apakah ia akan menerimaku? Bagaimana pula dengan Ayahku? Akankah Ia marah? Melihat Aku nanti? Rasanya Aku tak sanggup jika harus melihat kedua orang tuaku menitikkan air mata, entah itu di depan ataupun di belakangku. Sungguh Aku benar-benar tak sanggup, rasanya Aku menjadi anak yang tak tahu balas budi.
Aku tau ini bukanlah akhir dari segalanya, Ya Allah kuatkanlah hambaMu ini dalam menerima cobaan ini, juga teman-temanku. Kami memilih jujur meskipun kami tak tahu jika hasilnya akan seperti ini. Ya Allah jadikanlah kami hambaMu yang berpikir ke depan, dan yakinkanlah kepada Kami semua bahwa di balik semua ini pasti ada hikmahnya.

“Ibu maafkan Rina ya.. nilai Rina tak seperti yang Ibu harapkan” kataku dengan menunduk
Ibu hanya terdiam menatapku.
“Ibu Rina tau, mungkin Rina bukan anak yang baik, dengan nilai Rina yang tidak memuaskan hati Ibu, Rina minta maaf” kataku menahan air mata.
Ibu masih terdiam.
“Bu…” Aku tak sanggup berkata apapun di depannya.
“Tapi Rina mengerjakannya dengan jujur Bu… Rina juga sudah belajar Bu.. sudah solat malam, solat duha, tapi…”
“Tapi hasilnya tidak seperti yang kau harapkan begitu?” ucap Ibu memotong kalimatku
Aku hanya tertunduk.
“Sayang, Ibu tak mengharapkan seorang anak ibu ini menjadi perempuan yang pemalas, yang menjadi koruptor nantinya, pembohong, atau apapun lainnya yang tak pernah ibu harapkan” tandas Ibu.
“Lantas..?” Aku menatap Ibu dengan gugup
“Ibu mendidikmu dan selalu mendoakanmu supaya kau menjadi anak yang sholehah, pandai bersyukur, dan bersabar Nak, tentunnya menjadi seorang anak yang jujur” Ibu menatapku dengan lembut.
“Jjad.. ddii, Ii.. bbu tidak sedih?” kataku
“Tidak sayang, Ibu tidah sedih ia juga tidak marah kepadamu, tidak juga dengan Ayah” kata Ayah yang datang tiba-tiba seraya memeluk pungungku.
“Kami percaya padamu Nak.. kami tau kau tak mungkin mengotori nilaimu dengan prbuatan curang seperti itu bukan” kata Ayah dengan senyumnya yang khas.
“Kami justru bangga padamu.. kamu mampu melewati semuanya dengan menahan hawa nafsumu, nilaimu bersih” kata Ibu dengan hangat.
Aku terharu. Segera kupeluk mereka dengan sangat erat.
“Terimakasih Ayah.. Ibu..” kataku menangis haru.

Tiba-tiba terdengar bunyi bel dari arah kamarku.
KRinng… kring… kRing…
Aku berlari kekamar.
*Aku terbangun.
Jadi semua itu tadi hanya mimpi?
Lalu bagaimana dengan nilai hambaMu ini ya Allah… aku takut mimpi itu… mimpi itu… jadi kenyataan.
Aku segera berlari mengambil air wudhu untuk sholat tahajud, di sanalah Aku meluapkan semua isi hatiku kepadaNya, Hanya kepadaNya, dan berharap hari ini adalah awal yang baik untuk semua yang terbaik.


Pukul 14.00 WIB
Ayah belum pulang, Aku jadi semakin tegang. terbayang olehku akan semua mimpiku tadi malam dan tiba-tiba terdengar suara yang sudah lazim kudengar dari luar rumah..
“Assalamu’alaikum..” suara Ayah
“Wa-wa’alaikumsalam” kataku. Segera Aku keluar dari kamar dan menemuinya.
“Ayah.. bagaimana nilaiku? kataku gugup.
Terlintas bayangan dari akhir mimpiku tadi malam, oh.. seandainya mereka bahagia seperti di mimpi. Tapi aku tak berharap nilaiku seperti dalam mimpi itu. Aku masih berharap agar keadaan lebih baik dari mimpi itu.
Ayah menatapku dengan penuh keheranan.
“Tenanglah dulu” kata Ibu keluar dari kamar mandi.
Ayah duduk di sampingku. Aku menatapnya. Ia menatapku, lalu menatap Ibu. Kemudian menatap Aku lagi.
“Bu.. Ayah harap kamu jangan kaget melihat nilai anakmu ini” kata Ayah singkat.
Aku terdiam. Mungkinkah mimpi itu…
“Sungguh ayah tak menyangka Nak..” Katanya terputus
“Nilaimu.. nilai Sosiologimu sempurna dan yang lainnya juga bagus, jumlahnya 58″
“Oh Ayah…” kataku dengan senang seraya mencium tangannya berkali-kali
“Selamat ya Nak…” kata Ibu sambil memelukku.

Ya Allah terima kasih Ya allah, ternyata di balik ujianMu tersimpan kado terbaik untukku hari Ini. Jadikanlah hambaMu untuk tetap tetap dan selalu bersyukur.
#kita tak pernah tahu masa depan kita, namun aku percaya Akan ada akhir yang indah untuk semua yang baik, selagi kau percaya bahwa kekuataan doa dan Allah itu nyata.
——-
Aku melangkah ke kamar dengan senyuman puas. Tiba-tiba Aku teringat oleh para sahabatku yang masuk dalam mimpiku. Apa kabar mereka hari ini? Semoga mereka juga merasakan Apa yang Aku rasakan.
di layar HP: 4 pesan diterima.
pesan 1 dari Krish: Aku lulus. Kamu gimana?
pesan 2 dari Puput: Alhamdulillah nggak nyangka nilai bahasa Inggrisku bisa dapet 8. Ini sesuatu banget..!!
pesan 3 dari Ella: Yee…Lulus. senangnya hatiku prend… gimana nilaimu?
pesan 4 dari Arin: Teman Aku nggak lulus.

Deg!! begitu kira-kira reaksi jantungku melihat pesan terakhir. Ya Allah bag.. bagaimana mungkin Arin nggak lulus? dia kan pintar.. mengapa harus dia, mengapa harus sahabatku sendiri. Sekarang Aku harus bagaimana? Aku harus bales gimana? Apa yang harus aku lakukan untuk menghiburnya? Pasti dia sangat sedih di sana. Ya Allah.. kuatkanlah hatinya…
Tiba-tiba satu pesan di terima
pesan dari Arin : Teman aku memang nggak lulus. Kamu nggak usah sedih ya.. Aku sudah menerimanya dengan ikhlas. Karena Aku memang nggak lulus dengan nilai kebohongan, tapi Aku dan kalian semua lulus dengan nilai kejujuran :D Kaget? Ahahai berhasil ngerjain Si Rina :p
Oh, jadi gitu ceritanya? Si Arin bohongin Aku. gapapa deh, Alhamdulillah malah. Terima kasih Ya Rabb.
Cerpen Karangan: Bondan Ratnasari
Facebook: Bondan Ratnasari
Blog: www.bondanratna.blogspot.com
Halo teman, Assalamu’alaikum… kalau boleh jujur ini cerpen udah ada di blog saya, tetapi karena sepi tak ada salahnya saya mecoba posting di sini, barangkali ini dapat menjadi inspirasi untuk teman2. Trimakasih :) 



Takdir Sukri

Hilir mudik, mondar-mandir, semua bergerak berusaha mengejar roda putaran waktu yang bergulir dengan sangat cepat, pepatah bahwa waktu adalah uang, waktu adalah seperti pisau yang memiliki 2 mata yang tajam dan tumpul, waktu adalah senjata yang harus pintar-pintar di gunakan dsb-dsb, rupanya benar-benar mereka hayati dengan sangat baik, memang siapapun yang tidak mampu mengimbangi cepatnya putaran sang waktu akan tertinggal, tergilas, amblas lenyap di telan masa dan zaman. Tapi apakah sebenarnya hakikat dari semua ini, mengejar sang waktu, mengimbangi sang waktu, menguasai waktu, memanfaatkan waktu, dsb-dsb, untuk apa?.
“Sekian dulu pak, interview kita hari ini, untuk hasilnya bapak akan kami hubungi lagi seminggu kemudian”, kalimat itu masih terngiang di telinga Sukri, sambil duduk di tembok pembatas taman di pinggir trotoar, dia masih termenung, termangu, terpaku dsb-dsb, dia ingat dengan pasti kalimat yang barusan keluar dari mulut sang Hrd perusahaan tadi, itu adalah yang ke 10 atau mungkin malah lebih dia mendengar kalimat itu, tapi anehnya setelah seminggu menunggu, tak ada satupun dari perusahaan yang dia lamar menghubunginya lagi, tidak jelas maksud kalimat itu, apakah dia memang tidak di butuhkan, kenapa harus memberi harapan, apakah itu model baru dari pengusiran secara halus atau kode etik dari para Hrd untuk menolak para pelamar yg tidak memenuhi syarat secara halus.

Sekilas pandangan kosong, raut muka sayu duduk termenung, dia memandang hilir mudik, mondar-mandir, lalu-lalang orang-orang & kendaran di depannya, “kenapa!?” teriaknya dalam hati, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat tenggorokannya yang sedari tadi kering tercekat, “orang-orang ini enak sekali, bisa beli mobil mobil mewah, handphone mahal, dan pake baju-baju yang bagus”, Sukri mengumpat, meracau, berserapah dalam hatinya melihat kenyataan yang bersliweran di depannya, tapi yang semakin membuat dia sakit hati sekaligus iri adalah mereka semua adalah para pekerja kantoran, sesuatu yang sangat dia dambakan selama ini. “Kenapa mereka bisa, kenapa aku tidak”. Sebenarnya Sukri tidak sendirian bersumpah serapah, mengutuk, mengumpat soal kenapa dirinya susah mendapatkan pekerjaan, di negeri ini dia punya jutaan kawan senasib dalam kesialan dan ketidak-berumtungan, padahal Sukri dan temannya yang jutaan itu juga lulusan S1, seolah pengorbanan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit itu musnah, memudar tiada arti, di telan realitas kehidupan.
Gontai dia berjalan, lemas di tumpuaan lututnya, dengan sisa tenaga mencoba berjalan pulang, dia tahu rumah kosnya 5 km jauhnya dari tempat dia berdiri sekarang, tapi Sukri cukup sadar dia tidak mungkin naik kendaraan umum, bejak, bajaj, ojek apalagi taxi, selama ini sukri hanya mengadandalkan uang saku kiriman ibunya di kampung yang hanya penjual kue serabi keliling. “Apa yang harus kulakukan sekarang”, Sukri merebahkan tubuhnya, di kamar kos nya yang kecil, kasur kapuk yang sudah jelek di atas dipan kecil yang seukuran tubuh satu orang, “semua lamaran itu, sia-sia” resah Sukri dalam hati, matanya terpejam, tapi tidak ngantuk, mencoba menenangkan perasaan tapi hati kecil nya tetap resah, pikirannya mulai melayang, menerawang, ke masa-masa ketika dia masih di duduk di bangku kuliah, Sukri ingat betul bagaimana dia bekerja keras demi membiayai kuliahnya dengan bekerja sambilan menjadi tukang parkir di salah satu komplek ruko di kawasan Surabaya timur, bagaimana dia harus berusaha keras mengatur waktu antara kuliah, belajar, tugas kuliah dan kerja sambilan, seolah waktu 24 jam sehari tidak cukup baginya, bagaimana dia sering kesulitan menghadapi omelan pemilik kos, karena sering terlambat bayar kos, “hemm, problem yang terakhir masih jadi masalah sampai saat ini, meski aku sudah pindah kos”, tanpa sadar senyum kecil tersungging di bibir, mencoba mentranformasikan penderitaan menjadi sedikit lelucon penghilang resah.
“Rina”, kenangan itu, “Rina, Rina”, sejenak hati Sukri seperti di injak seseorang, beban yang sakit tiap kenangan itu muncul kembali di benak Sukri. Yah, Rina adalah gadis yang pernah mengisi hati Sukri, dia jugalah salah satu alasan kenapa Sukri bisa bertahan menghadapi bermacam kesulitan selama di bangku kuliah, Rina adalah gadis manis, pintar, dan sangat peduli kepada dirinya. Rina, gadis yang di kenalnya secara tidak sengaja ketika dia memarkir mobilnya di ruko yang tempat parkirnya di jaga Sukri, Rina tidak canggung untuk menyapanya terlebih dahulu meskipun Sukri sempat Minder luar biasa. Rina, gadis yang akhirnya membuat hati Sukri tertambat dan dia memutuskan untuk mengutarakan perasaannya pada gadis itu, setelah selama dua bulan mereka dekat satu sama lain. “Seandainya aku kaya, kau pasti masih ada di sampingku sekarang, Rina”, setelah masa berpacaran selema dua tahun Rina secara tiba-tiba memutuskan hubungan kasih mereka, tepat setelah acara wisuda, Sukri shock dan sempat tidak percaya, tapi dia tepaksa, di paksa menerima kenyataan bahwa gadis baik, lembut dan penuh pengertian itu, tak lebih baik dari gadis-gadis terpalajar lainnya, materi, kemapanan, kenyamanan, prestasi, itulah yang mereka inginkan dari para lelaki kalau ingin menjadi suami mereka, sayang dalam takdir sukri, tidak satupun tertulis deretan kalimat tersebut, Yah Rina ternyata lebih memilih Steven, lulusan cumlaude Fak teknik, anak orang kaya yang dengan hebat mengembangkan usahanya sendiri itu ternyata juga memgincar Rina sejak lama, dan ternyata diam-diam Rina selama ini melayani perhatiannya. Sukri ikhlas, legowo, sadar bahwa dia tidak akan pernah bisa membahagiakan gadis yang sangat di cintainya itu. “Semoga kau bahagia bersama laki-laki itu”, doa sukri, meski dia merasa ada sesuatu yg tiba-tiba menekan dadanya, sakit.
Mata Sukri semakin berat, rasa lelah dan kantuk bercampur, pelan dia menutup mata, angannya kembali melayang, kali ini kembali ke masa ketika dia masih sma, Sukri ingat benar masa itu, “Budi, teman ku” dia masih ingat dengan teman sma nya itu, mereka berdua adalah teman senasib, kemanapun mereka berda selalu bersama. Budi sama seperti Sukri, berasal dari keluarga miskin, tapi beda dengan Sukri, Budi adalah pribadi yg periang dan selalu optimis, Budi juga seorang cuek, dia tidak pernah peduli pada setiap ejekan, hinaan, cibiran dari teman-teman satu sekolahnya dia sadar betul bahwa dia miskin, spp juga serlambat, tapi dia tak pernah perduli, dia selalu berkata pada Sukri, “yang penting kita bukan maling, dan kita bisa tetep sekolah”, Budi juga selalu membantu kesulitan Sukri, walaupun kadang malah menyusahkan dirinya sendiri, “aku masih ingat saat aku ketahuan di minimarket itu Bud, terima kasih”, gumam Sukri, matanya berkaca-kaca mengingat kejadian itu, saat itu Sukri benar-benar dalam hilang akal, gelap mata, irasional, kenyataan bahwa ibunya sedang sakit keras, sehingga dia terpaksa mencuri di minimarket yang ada di perumahan dekat kapungnya, naas Sukri terpergok karyawan minimarket itu, lagi pula dia tidak sadar ada cctv yang terpasang di tiap sudut minimarket. Budi lah yg menyelamatkannya dia yang berbicara sekaligus meminta maaf atas ulah sukri, saat itu kebetulan budi yg penjual gorengan lewat di depan mini market itu, dan dia kenal dengan salah satu pegawainya, Budi lah yg menyelesaikan semua kekacauan yang di timbulkan Sukri, kalau saja tidak Budi mungkin sekarang Sukri adalah seorang narapidana, tapi itulah Sukri terakhir kali Sukri melihat Budi, tiga hari kemudian Sukri mendapat kabar bahwa teman terbaiknya itu meninggal saat berjualan pisang goreng karena tertabrak mobil saat menyebrang jalan, seperti tersambar petir, Sukri benar-benar shock saat mendengar kabar itu, dia adalah satu-satunya orang terus mengalir air matanya saat prosesi pemakaman Budi berlangsung, bahkan keluarga Budi sendiri, tidak ada yg sesedih Sukri. Sepeninggal Budi, segala segalanya menjadi lebih sulit bagi Sukri, dia harus menghadapi segala kesulitan sendirian. “terima kasih Bud, semoga Allah membalas semua amal baikmu”, doa Sukri dalam hati.
Tak terasa hari semakin larut, meski perut mulai berisik tapi Sukri malas beranjak dari ranjang karena tubuh nya sangat lelah, lagi pula memang tidak ada makanan dan tidak ada uang, matanya semakin mengantuk, tapi pikirannya tetap melayang ke masa lalunya, kali ini ingatannya kembali ke masa ketika dia masih kecil, ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Masa kecil seharusnya menjadi masa-masa yang ceria bagi kebanyakan orang, tapi itu tidak berlaku bagi Sukri.
Sukri kecil harus susah payah bekerja ikut berjualan pisang goreng membantu ibunya, dia ingat ketika ayahnya meninggal karena penyakit kanker paru, sepeninggal ayahnya, terpaksa ibu Sukri yang sebelumnya hanya ibu rumah tangga biasa harus turun tangan mencari nafkah untuk menyambung hidup dengan berjualan pisang goreng. “Pak, bu aku kangen kalian” tanpa terasa air mata meleleh membasahi pipi Sukri. Sukri juga masih ingat ketika dia baru pulang dari sekolah ia ingin mampir ke kios ibunya di pinggiran sungai di sekitar panjang jiwo, tapi alangkah terkejut Sukri ketika dia melihat banyak orang-orang berseragam dengan membawa beberapa alat berat, mereka merusak kios-kios yang ada di pinggir sungai, dia melihat cak Sarno berteriak marah kepada orang-orang berseragam itu, dia juga melihat warung cak Sarno sudah ambruk, rata dengan tanah, seketika Sukri panik dia segera ingat nasib ibunya, Sukri kemudian berlari mencari cari ibunya, sambil berteriak-teriak memanggil nama ibunya, setelah beberapa saat dia menemukan sosok wanita paruh baya yang menangis histeris di depan reruntuhan kios, Sukri segera berlari kearah ibunya, wanita paruh baya itu segera memeluk Sukri dan mereka berdua pun sama-sama menangis meratapi kios warisan dari mendiang ayah Sukri.
Tanpa kios untuk berjualan terpaksa ibu sukri berjualan dengan cara keliling untuk menyambung hidup mereka berdua, Sukri pun juga juga ikut membantu ibunya berjualan, sepulang sekolah dia pun berkililing berjualan pisang goreng keliling menggantikan sang ibu, terkadang Sukri kecil merasa iri dengan teman-teman sebayanya yang sepulang sekolah leluasa untuk belajar, bermain dan berkumpul dengan keluarga mereka. “hhmm”, Sukri, menghela nafas, dia merasa samgat mengantuk tapi sulit untuk tertidur, “apa ini sudah takdirku ya Allah”, Sukri bangun dan terduduk diranjang, “apakah aku harus mengalami seluruh kesialan dan ketidak beruntungan ini ya Allah”, ratap Sukri dalam hatinya, “sampai kapan nasib ku seperti ini terus, apakah selamanya aku akan seperti ini”, Sukri sadar dan bener. benar mengerti, semasa kecil dia sering ikut pengajian di langgar kampung bersama cak Sarno, dia mengerti betul bahwa sebagai hamba yang beriman tidak sepatutnya dia mempertanyakan qada’ dan qadarNya, juga bagaimana alam semesta beserta seluruh isinya ini menjalani takdirnya masing-masing adalah hak prerogatif dari Nya, hanya Allah yang maha menentukan segalanya. Dengan sisa tenaga Sukri berusaha bangun dari ranjang, dia melangkah dengan gontai menyeret kakinya ke kamar mandi, “ya Allah, malam ini aku datang padamu dengan ikhlas dan penuh pengharapan”, batin Sukri. “Aku adalah hambamu yang lemah dan banyak khilaf, aku mengharap ampunanMu yang luas dan juga ridha Mu atas hidup dan juga qada’ dan qodar yang kujalani ini, hanya kepadaMu aku berdoa’ dan memohon pertolongan ya Robbal Alamin”.
Cerpen Karangan: Wahyudi Warsaintia

Pribadi Lebih Baik

Bunda dan Ayah sedang berbicara serius tentang diriku, mereka berdua sepakat untuk memasukkanku ke Asrama Muslimah, asrama ini adalah asrama khusus Muslimah. Aku masih sangat bingung, memang, ini kesalahanku sendiri. Aku masih jarang Shalat dan Mengaji, padahal umurku sudah 11 tahun. Sekarang, Aku hanya bisa pasrah saja, Aku juga ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
“Bunda, Ayah… baiklah, Aku bersedia untuk masuk ke Asrama Muslimah, Tyra ingin mencoba berubah,” ujarku pada saat kami sarapan.
“Benarkah? Kamu sudah setuju?” tanya Bunda yang langsung mengalihkan perhatian dari sarapan paginya.
“Ya… Aku setuju,” jawabku.

Pagi itu pun Aku jalani dengan mengemas barang-barangku yang akan di bawa ke asrama. Setelah beberapa pakaian dan alat-alatku yang kuperlukan telah masuk ke dalam koper berukuran sedang milikku, Aku dan kedua orang tuaku beserta adikku segera makan siang bersama.
“Tyra… kamu sudah bersiap-siap kan?” tanya Ayah, Aku mengangguk.
“Baju lengan panjang dan bukan celana ketat kan?” tanya adikku, Tara.
“Iyalah…” jawabku sedikit jengkel.
“Sudah… ayo kita langsung makan! Tyra, kamu kan mau beli jilbab dan alat tulis lainnya kan?” ujar Ibu, Aku dan Tara langsung diam, lalu kami semua segera makan siang dengan cukup lahap.

Setelah makan siangku habis, Aku segera memakai sepatuku dan menunggu Ayah di dalam mobil. Tak lama kemudian, Ayah pun datang.
“Sudah siap?” tanya Ayah.
“Sudah” jawabku singkat. Setelah membaca doa, kami berdua segera menuju Mall terdekat dari rumah kami.
Di tengah perjalanan, Ayah bercerita kepadaku tentang Asrama Muslimah yang akan menjadi tempat tinggalku yang kedua.
“Jadi Yah, kita harus disiplin setiap hari?” tanyaku, Ayah hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang lancar.

Perjalananku menuju Mall bersama Ayah sudah terlewati. Kami berdua sudah sampai di Mall tersebut, sekarang, kami sedang menuju butik Muslim langganan Bunda. Rencananya, kami akan membeli jilbab dan beberapa aksesori jilbab untukku nanti, mulai lusa, Aku akan menjadi seorang Muslimah yang akan menjadi pribadi yang lebih baik.
“Tyra, kamu mau ditemani Ayah, atau Ayah tunggu di sini saja?” tanya Ayah sesampainya kami di depan butik Girls.
“Hmmm… Aku sendiri saja deh, Yah!” jawabku.
“Baiklah… silahkan” ujar Ayah, Aku hanya tersenyum lalu beranjak menuju ke dalam butik. Setelah masuk ke dalam, Aku mencari bagian jilbab.
“Hmmm… warna jilbab yang ini… kan sama dengan bajuku!” ujarku ketika melihat sebuah jilbab berwarna biru muda dengan hiasan bunga di ujung jilbab tersebut. Aku pun memilih jilbab itu, dan itu adalah jilbab yang pertama kali ku pilih. Untuk jilbab yang kedua dan seterusnya, Aku memutuskan untuk memilih jilbab dengan banyak warna dan tidak terlalu banyak hiasan.

Setelah cukup banyak jilbab yang Aku pilih dan kurasa cukup, Aku segera beranjak menuju tempat aksesori. Sesampainya di tempat aksesori, Aku melihat jajaran rak kecil yang berisi berbagai aksesori khusus muslimah. Seperti pin, bross, atau aksesori jilbab lainnya. Aku memutuskan untuk memilih beberapa bross berukuran kecil yang menurutku lucu. Beberapa bross yang Aku pilih antara lain, bross berwarna merah terang berbentuk kupu-kupu, bross berwarna hijau muda dengan bentuk daun dan bross berwarna biru dengan bentuk bulat.
Waktu yang kuhabiskan untuk memilih jilbab dan aksesori memang cukup memakan waktu, sampai akhirnya Aku dan Ayahku segera membayar seluruh barang yang Aku beli dan segera beranjak menuju toko buku.
“Yah, kita ke toko buku ini saja!” ujarku sesampainya kami di depan sebuah toko buku yang baru di buka minggu lalu.
“Di sini lengkap?” tanya Ayah memastikan.
“Tentu!” jawabku. Ayah pun mengangguk tanda setuju, lalu, Aku dipersilahkan kembali untuk memilih alat tulis yang akan sangat kubutuhkan di asrama nanti.
Aku memilih beberapa pak buku tulis, pulpen, pensil, penghapus serta penggaris. Serta beberapa alat tulis yang kubutuhkan lainnya. Setelah Aku memilih alat tulis, Ayah segera membayar seluruh barang tersebut. Setelah selesai, kami berdua segera pulang menuju rumah.

Di sepanjang perjalanan pulang kali ini, Aku mulai menyadari betapa pentingnya berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Bagaimana bisa Aku menolak untuk berubah jika itu demi kebaikanku sendiri. Mulai saat ini, Aku meyakinkan dalam diriku, terutama hati kecilku untuk berubah, berubah menjadi seorang yang lebih baik.
“Sayang… kita sudah sampai, ayo bangun…” ujar Ayah yang ternyata berusaha membangunkanku. Aku baru sadar bahwa Aku tertidur. Dengan segera, Aku bangun dari tidurku dan segera keluar dari mobil.
“Ayah… terima kasih ya, sudah mengantarku membeli alat-alat yang kubutuhkan…” ujarku ketika keluar dari mobil.
“Iya, sama-sama…” jawab Ayah seraya menampilkan senyumannya. Aku membalas senyumnya, lalu ia pun beranjak menuju ke dalam rumah. Setelah Ayah masuk, Aku segera beranjak menuju kamarku.

Sesampainya di kamar, Aku segera memasukkan barang-barang yang baru ku beli ke dalam koperku. Setelah sudah, Aku memutuskan untuk membuka laptopku. Aku melihat-lihat diaryku yang rutin ku tulis setiap hari, namun sejak sebulan terakhir ini, Aku jarang mengisi diaryku. Beberapa saat, Aku tertawa membaca tulisanku yang terlihat lucu atau malah sangat tidak masuk akal. Banyak sekali keluh kesahku di sana, dari mulai Aku sebal dengan adikku sampai saat Aku kagum dengan seseorang.
Setelah Aku merasa cukup puas membaca tulisan-tulisanku, Aku menutup kembali laptop dan segera memasukkannya ke tempatnya kembali, rencananya, laptop ini akan ku bawa ke asrama.

Hari demi hari berlalu, tak terasa sekarang Aku sudah berada di asrama baruku. Aku sudah mulai masuk di sini dari kemarin, Aku sudah mulai terbiasa dengan tata tertib dan kedisiplinan di asrama. Aku juga sudah memiliki cukup banyak teman, hampir semuanya sama sepertiku, ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
“Mira, apa kamu sudah merasa menjadi pribadi yang baik?” tanyaku saat jam bebas.
“Hmmm… Aku belum tahu, biar tuhan yang menilai. Lagi pula, kita sebagai manusia pasti selalu berbuat salah dan selalu ingin menjadi yang lebih baik lagi,” jawab Mira, Aku hanya mengangguk tanda setuju. Lalu, Aku dan Mira pun berencana untuk menuju ke perpustakaan yang berada di asrama. Perpustakaan di asrama ini adalah salah satu tempat favoritku di sini. Di perpustakaan ini, Aku sangat senang membaca cerita tentang para istri Nabi Muhammad SAW. Aku juga banyak belajar tentang cara menjadi pribadi yang lebih baik. Yang pasti… siap atau tidak siap kita menjadi seorang muslim sejati, kita harus menjadi sosok yang baik, lebih baik, dan akan terus menjadi baik.

Soal pribadi yang baik, kita memang tidak pernah bisa menilainya. Terkadang, kita berbuat dosa tanpa kita sengaja. Terkadang, kita menyakiti hati orang lain tanpa di sengaja. Oleh karena itu, teruslah berusaha untuk menjadi pribadi yang baik dan… lebih baik.
Cerpen Karangan: Fadillah Amalia